Kisah Perjuangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dan Para Shahabatnya Dalam Mempertahankan Kota Madinah
Oleh. Rahman Hakim
Mahasiswa Fakultas Dakwah Dan Ushuludin, UIM
Kaum Anshar atau yang sebelumnya dikenal sebagai suku Aus dan Khazraj, dikenal sejarah sebagai kaum Arab yang pemberani dalam hal pertempuran. Cepat dalam melakukan penetrasi pertempuran, dan pantang mundur, itulah ciri khas mereka. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Al-Amin Muhammad, dosen sejarah di fakultas Dakwah, Universitas Islam Madinah. Suku Aus dan Khazraj memiliki keberanian yang jarang dimiliki oleh kabilah-kabilah Arab pada umumnya. Bahkan tersebut dalam sebuah riwayat: jika mereka hendak berduel dengan musuhnya, mereka terlebih dahulu mengajak musuhnya untuk masuk ke suatu tempat kemudian menguncinya. Di situlah mereka akan bertanding hingga titik darah penghabisan. Sungguh luar biasa! Maka tidak salah, apabila suku Aus dan Khazraj mendapat kehormatan dari Allah, sebagai Anshor Rosulullah (penolong Rasulullah).
Sebelum menjalankan taktik ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam terlebih dahulu bermusyawarah dengan Sa’d bin Muadz dan Sa’d bin Ubadah. “Wahai Rasulullah, jika apa yang kau putuskan itu perintah dari Allah, maka kami akan patuh dan taat”, begitu jawaban keduanya. Lalu melanjutkan, “Namun, jika itu merupakan sesuatu yang engkau lakukan untuk kepentingan (meringankan beban) kami, kami tidak membutuhkannya. Sebab (ketika) kami dan mereka dulu masih dalam (keadaan) musyrik dan menyembah patung, mereka tidak tergiur oleh buah-buahan kami, kecuali apa yang dihidangkan dan lewat jual-beli. Maka ketika Allah memuliakan kami dengan Islam dan memberi kami petunjuk kepadanya, lalu kami dimuliakan dengan kebersamaanmu, relakah kami memberikan harta kami kepada mereka? Demi Allah, kami tidak akan memberikan kepada mereka kecuali pedang!” Dan akhirnya Rasulullahpun sependapat dengan keduanya. Lantas beliaupun berujar, “Aku melakukan itu untuk kepentingan kalian. Karena aku melihat bangsa Arab telah bersatu untuk menyerang kalian” (Al-Mubarakfuri, 2005).
Pertolongan Yang Ditunggu-Tunggu Akhirnya Tiba
Di tengah pengepungan yang masih berlangsung, tanpa ada kepastian sampai kapan keadaan yang menyesakkan dada kaum Muslimin ini akan terjadi. Tiba-tiba seorang laki-laki dari suku Ghathafan yang bernama Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i datang menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah masuk Islam. Sedangkan kaumku tidak mengetahui akan keislamanku. Maka perintahkanlah apa saja yang harus saya lakukan.” Nabipun menukas, “Engkau ini hanya seorang diri. Berbuatlah semampumu agar suku Ghatafan itu tidak menolong kaum Quraisy. Karena perang itu adalah tipu daya.” Saat itu juga, ia pergi menuju Bani Quraizhah –karena masih ada tali kekerabatan antara dirinya dengan mereka pada masa Jahiliyah dulu- dengan misi memecah belah kekuatan pasukan musyrikin. “Kalian tahu akan kecintaanku kepada kalian, khususnya antara sukuku dengan suku kalian,” ujar Nu’aim mencoba meyakinkan Bani Quraizhah. Spontan merekapun menjawab, “Engkau benar!” Lalu Nu’aim melanjutkan, “Sesungguhnya orang-orang Quraisy itu tidak sama dengan kalian. Negeri ini adalah negeri kalian. Di sinilah tempat harta, anak, dan istri kalian tinggal. Di mana kalian tidak bisa berpindah darinya ke daerah yang lainnya. Kaum Quraisy dan Ghathafan itu datang kemari untuk menyerang Muhammad dan pengikutnya. Sedangkan kalian telah membantu Quraisy dan Ghatafan untuk menyerangnya. Padahal negeri, harta, dan istri mereka tidak bersama mereka. Maka jika mereka mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan cita-cita yang mereka inginkan, mereka akan memanfaatkannya. Namun, jika tidak, mereka akan pulang ke negeri mereka dan meninggalkan Muhammad dan kalian. Sehingga Muhammad bisa membalas perbuatan kalian atasnya.” Tanpa disadari, akhirnya suku Quraizhah itu termakan umpan yang dilempar oleh Nu’aim kepada mereka, yang tidak lain adalah sebuah tipuan perang. Serta merta mereka pun menjawab, “Apa yang harus kami perbuat wahai Nu’aim?” Nu’aim pun menjawab, “Janganlah berperang bersama mereka sebelum mereka memberikan jaminan kepada kalian.” “Pendapatmu sungguh benar,” sahut mereka.
Sukses mengecoh Bani Quraizhah, selanjutnya Nu’aim berangkat menemui orang-orang Quraisy guna melancarkan aksi tipu dayanya. Ia terlebih dahulu meyakinkan suku Quraisy sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya. “Bukankah kalian tahu betapa sayang dan tulusnya saranku kepada kalian?” kata Nu’aim membuka perbincangannya. Lalu dijawab oleh orang-orang Quraisy, “Tentu.” Kemudian ia melanjutkan, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi itu merasa menyesal atas pengkhianatan mereka terhadap Muhammad dan shahabatnya. Dan mereka telah berulang kali mengabarkan kepada Muhammad, bahwasanya mereka akan menerima harta jaminan dari kalian, yang akan mereka bayarkan kepada Muhammad. Lalu setelah itu, mereka akan kembali loyal kepadanya untuk menyerang kalian. Maka jika mereka (orang-orang Yahudi) meminta jaminan itu, janganlah kalian berikan kepada mereka.” Kemudian dia pergi ke Bani Ghathafan, dan dia mengatakan hal yang sama kepada mereka.
Pada malam sabtu bulan Syawal tahun kelima hijriyah, orang-orang Quraisy yang telah termakan umpan tanpa sadar itu mengirim utusan kepada orang-orang Yahudi. Utusan itu berkata, “Kami tidak bisa lagi diam berlama-lama di sini. Kaki dan sepatu kami telah rusak. Segeralah bergabung bersama kami sehingga kita bisa menghabisi Muhammad.” Lalu orang-orang Yahudi itupun mengirim utusan untuk menyampaikan pesan balasan kepada Quraisy, "Bahwa hari ini adalah hari sabtu. Dan kalian sudah mengetahui apa yang menimpa orang-orang sebelum kami ketika mereka melanggar larangan di hari sabtu. Disamping itu, kami tidak akan berperang bersama kalian, kecuali jika kalian mengirim harta jaminan kepada kami.”
Ketika utusan itu datang dengan membawa berita itu, orang-orang Quraisy dan Ghathafan berkata, “Demi Allah, (ternyata) Nu’aim benar.” Lalu mereka balik mengirim utusan kepada orang-orang Yahudi untuk menyampaikan pesan, "Demi Allah, kami tidak akan mengirim apapun kepada kalian. Keluarlah bersama kami sehingga kita bisa menyerang Muhammad." Mendengar hal itu, Bani Quraizhahpun berkata, “Demi Allah, (ternyata) Nu’aim benar.” Siasat propaganda yang dijalankan Nu’aim sukses besar. Akibatnya, kedua kelompok itu akhirnya saling acuh tak acuh. Perpecahan pun terjadi di antara barisan mereka, yang berimbas pada melemahnya semangat juang mereka.
Sementara itu, kaum Muslimin tak henti-hentinya memanjatkan doa kepada Allah, “Ya Allah, tutupilah kelemahan kami dan berilah kami rasa aman.” Rasulullah juga turut berdoa untuk kehancuran pasukan gabungan itu. Beliau berdoa, “Ya Allah yang menurunkan kitab, yang cepat perhitungan-Nya, hancurkanlah pasukan sekutu itu. Ya Allah hancurkan dan cerai-beraikan mereka.”
Allah Maha Mendengar, tidak menyia-nyiakan doa kekasih-Nya dan kaum Muslimin. Tidak berapa lama setelah terjadi perpecahan di dalam barisan kaum Musyrikin, serta semangat untuk saling mengkhianati mewarnai mereka, Allah mengirimkan kepada mereka pasukan-Nya yang berupa angin kencang. Angin itu menghancurkan mereka. Sampai-sampai tidak tersisa satu tempatpun kecuali diterbangkannya. Bahkan tali-tali kemah mereka juga ikut terlepas karena kuatnya angin yang berhembus. Akibatnya, mereka tidak merasa tenang lagi, maka rasa takut dan cemas pun menghinggapi hati mereka (Al-Mubarakfuri, 2005).
Misi Intelijen Hudzaifah Bin Yaman
Dalam hal ini, pihak yang kalah adalah kelompok yang terlebih dahulu meninggalkan arena pertempuran. Sedangkan pemenangnya adalah kelompok yang tetap teguh dalam posisinya. Dalam posisi seperti ini, informasi intelijen tentang kondisi pihak lawan, baik itu fisik maupun mental, hingga manuver apa yang akan dilakukannya selanjutnya, sangatlah dibutuhkan, guna memutuskan, langkah apa yang selanjutnya akan di ambil. Berkaitan dengan itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai panglima perang pasukan Muslimin, mau tidak mau harus mengirim seorang shahabat terbaiknya untuk memata-matai pergerakan pasukan koalisi. Lalu siapakah gerangan orang yang mampu melakukan misi berbahaya ini?
Rasulullah bertanya kepada para shahabatnya, “Adakah salah seorang di antara kalian yang berani melihat kondisi musuh sekarang? Semoga Allah mengumpulkannya denganku pada hari kiamat kelak.” Ditanyai seperti itu, para shahabatnya terdiam tak seorangpun yang menjawabnya. Lalu beliau ulangi lagi pertanyaannya itu hingga tiga kali. Namun, tetap saja tak ada yang menjawab. Akhirnya Rasulullah memanggil seorang dari mereka untuk menjalankan misi berbahaya ini. “Berdirilah wahai Hudzaifah, informasikan kepada kami kondisi musuh (saat ini)”, begitu perintahnya kepada Hudzaifah bin al-Yaman. Kelak, si Hudzaifah ini dikenang dalam sejarah sebagai seorang intel tangguh di era Islam. Begitu mendapat perintah, segera si Hudzaifah bangkit dan berjalan mencoba menyusup masuk ke kamp musuh. Namun, sebelum ia menjalankan tugas, Rasulullah berpesan agar ia tidak berbuat apapun yang dapat mengejutkan pasukan musuh. Karena misi Hudzaifah hanyalah memata-matai, tidak lebih.
Lalu Hudzaifah pun berjalan dengan ekstra hati-hati menuju kamp musuh. Ia diuntungkan oleh gelapnya malam, sehingga musuh tidak mengenalinya. Pun ketika ia memasuki kamp musuh, tak seorangpun dari mereka yang menaruh curiga terhadapnya. Hudzaifah berjalan seakan-akan ia salah seorang dari pasukan musuh. Betul-betul rapi dan tidak membuat orang curiga. Akhirnya, ia mendapati posisi Abu Sufyan, salah seorang tokoh pasukan musuh, sedang menghangatkan badannya di dekat api unggun. Melihat hal itu, spontan Hudzaifah tidak menyia-nyiakan kesempatan emas untuk membunuhnya. Ia letakkan anak panahnya di busurnya dan hendak membunuhnya dengan sebuah lesatan panah saja. Tetapi, buru-buru niat itu ia urungkan, setelah teringat pesan Rasulullah kepadanya itu. Di lain pihak, ternyata Abu Sufyan nampaknya hendak memberikan suatu briefing penting kepada pasukannya. Namun, untuk berjaga-jaga agar jangan sampai ada mata-mata yang mengawasinya, ia mengeluarkan sebuah instruksi cerdik yang tidak diduga sebelumnya oleh Hudzaifah, “Wahai kaum Quraisy, hendaklah setiap orang dari kalian saling mengecek siapa gerangan orang yang ada didekatnya!” Mendengar hal itu, Hudzaifah tidak kalah pintar, secara spontan ia pegang tangan orang yang ada di dekatnya seraya bertanya, “Siapa engkau?” Karena kaget, orang disampingnya itu langsung menjawab, “Fulan bin fulan!” Dengan demikian, amanlah posisi Hudzaifah. Tak seorangpun yang mengecek identitas aslinya, karena ia yang terlebih dahulu bertanya sebelum sempat di tanya. Setelah dirasa cukup aman, Abu Sufyan berkata bahwa ia sudah tidak kuat lagi bertahan, dan akan kembali ke Mekah saja. Diantara salah satu perkataannya, “(…) Sungguh, onta-onta kita telah binasa, dan Bani Quraizhahpun telah meninggalkan kita. Ditambah lagi angin kencang yang menghantam kita seperti yang kalian lihat sendiri. Maka sekarang kembalilah (ke Mekah), karena aku akan pergi sekarang!" Selesai berkata seperti itu, Abu Sufyan segera menuju ontanya dan melepaskan ikatannya, lalu duduk di atasnya. Kemudian ia memecut ontanya dan berjalan pulang menuju Mekah.
Hudzaifah pun segera bangkit kembali menuju markas kaum Muslimin di Madinah untuk menyambaikan berita ini kepada Rasulullah. Sebagaimana yang ia lakukan ketika masuk, kali inipun ia tetap tenang dan hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan pada diri orang-orang Musyrikin itu. Begitu mendengar kabar ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat gembira dan senang. Kemudian beliau mengucapkan puji dan syukur ke Hadirat Allah atas kabar gembira ini. Dengan kembalinya Abu Sufyan beserta pasukannya itu, berarti selesai sudah penderitaan berat kaum Muslimin dalam menghadapi pasukan gabungan ini (periksa: Ra'fat Basya, 2007; Rizkullah, 2003).
PR Terakhir Kaum Muslimin
Kembalinya Abu Sufyan beserta pasukannya ke Mekah, bukan berarti kaum Muslimin bisa beristirahat dengan tenang dan tidur nyenyak setelah itu. Masih ada satu PR lagi yang harus diselesaikan. Pada hari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pulang ke Madinah, Malaikat Jibril mendatanginya, yaitu ketika beliau sedang mandi di rumah Ummu Salamah pada waktu Dhuhur. Jibril bertanya, “Apakah kamu telah meletakkan senjata? Sungguh, para malaikat belum meletakkan senjata mereka. Kepulanganmu ini tidak lain kecuali untuk mengejar musuh. Pergilah beserta para shahabatmu menuju Bani Quraizhah. Aku juga ingin turut serta di hadapanmu untuk menggoncangkan benteng pertahanan Bani Quraizhah itu, dan memasukkan rasa takut ke hati mereka.” Selanjutnya, Jibril pun berangkat bersama pasukan malaikat (Al-Mubarakfuri, 2005).
Maka, berangkatlah Rasulullah bersama tiga ribu prajurit untuk memberi pelajaran kepada Bani Quraizhah yang telah mengkhianati perjanjian dan turut membantu pihak musuh dalam memerangi kaum Muslimin. Sesampainya di benteng, beliau dan pasukannya segera mengepungnya, sehingga membuat para penduduk Bani Quraizhah merasa ketakutan yang luar biasa. Menghadapi serbuan kaum Muslimin, tak ada yang bisa diperbuat oleh Bani Quraizhah itu melainkan bertahan di balik benteng mereka itu. Kaum Muslimin terus mengepung mereka hingga dua puluh lima hari lamanya (Khudhori bek, 2000). Setelah sekian hari lamanya bertahan di benteng itu, kondisi mental Bani Quraizhah semakin runtuh, dan ketakutan makin menyusup ke dalam dada mereka. Puncak dari keruntuhan mental mereka itu adalah manakala Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam maju ke hadapan. Lantas si Ali berteriak lantang, “Wahai pasukan Iman, demi Allah, aku akan merasakan apa yang dirasakan oleh Hamzah, atau aku membuka benteng ini!” Seketika itu juga mereka menyerah.
Selanjutnya, Rasulullah memerintahkan untuk menangkapi seluruh kaum laki-laki dan memborgol tangan mereka, serta menawan anak-anak dan wanita. Sebagai balasan setimpal atas pengkhianatan keji mereka itu, digalilah parit-parit di pasar Madinah, kemudian dipenggallah kepala mereka di parit itu secara bergiliran. Sebuah hukuman yang sangat adil dan pantas, mengingat pengkhianatan Bani Quraizhah. Disamping itu, Bani Quraizhah juga mengumpulkan sekitar seribu lima ratus pedang, dua ribu tombak, tiga ratus baju besi, tiga ratus perisai dan topi perang, guna memerangi kaum Muslimin (Al-Mubarakfuri, 2005).
Tidak berselang lama setelah perang ini, seorang shahabat Rasulullah, Sa’d bin Mu’adz, akhirnya menghirup nafas terakhirnya, setelah menderita luka serius di badannya akibat terkena serangan musuh, ketika turut mempertahankan kota Madinah dari serangan pasukan koalisi. Rasulullah mengabarkan, “Arsy Allah yang Maha Penyayang bergetar karena kematian Sa’d bi Mu’adz.” Ketika jenazah Sa’d diusung, orang-orang munafik berkata, “Alangkah ringannya jenazah Sa’d ini”. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berujar, “Sesungguhnya para malaikat juga turut membawanya”.
Penyerangan terhadap Bani Quraizhah terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun kelima Hijriyah. Pengepungan itu berlangsung selama dua puluh lima malam. Tidak jauh berbeda dengan perang Khandaq yang terjadi di tahun yang sama, yaitu pada bulan Syawwal. Sementara itu, pasukan musuh mengepung Rasulullah dan kaum Muslimin selama sebulan atau kurang beberapa hari. Pengepungan itu dimulai dari bulan Syawwal hingga bulan Dzulqo’dah.
Berkaitan dengan semua hal di atas, perang Khandaq bukanlah pertempuran yang mengakibatkan kerugian besar di kedua belah pihak, melainkan perang urat saraf semata. Di mana tak ada pertempuran sengit sama sekali. Namun, perang Khandaq merupakan pertempuran yang sangat menentukan sepanjang sejarah Islam, yang melahirkan perpecahan di barisan kaum Musyrikin. Dari situ bisa diambil kesimpulan bahwa kekuatan apapun yang berkembang di Arab dewasa itu tidak akan mampu memusnahkan kekuatan kecil yang sedang tumbuh di Madinah. Karena bangsa Arab itu tidak akan mampu mendatangkan pasukan yang lebih kuat dari apa yang mereka datangkan pada saat pertempuran Khandaq. Oleh sebab itu, ketika Allah mengusir pasukan sekutu itu, Rasulullah berkata, “Sekarang giliran kita yang menyerang mereka, bukan mereka yang menyerang kita, dan kita yang akan mendatangi mereka” (Al-Mubarakfuri, 2005). Selesai!
PUSTAKA RUJUKAN
1. Suryohadiprojo, Sayidiman. 2008. Pengantar Ilmu Perang. Jakarta: Pustaka Intermasa.
2. Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. 2005. Ar-Rachiq al-Makhtum. Riyadh: Dar Al-Minhaj.
3. Pasya, Abdurrahman Raf’at. 2007. Shuwar min hayatis shohabah. Cairo: Islamic Literatur House.
4. Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdulmalik. 2007. Siroh Ibnu Hisyam. Beirut: Dar Al-Ma’rifah.
5. Al-Umari, Akrom Dhiya’. 2009. As-Siroh an-Nabawiyyah as-Shohihah. Riyadh: Maktabah Obekan.
6. Ahmad, Mahdi Rizqullah. 1424 H. As-Siroh an-Nabawiyyah. Riyadh: Dar Imam ad-Dakwah.
7. Al-Masyath, Hasan bin Muhammad. 2006. Inaroh Duja fi Maghoozi Khoiril Waro. Jeddah: Dar al-Minhaj.
Selengkapnya...
KOBER RT 05 / RW 01 PURWOKERTO
Misi : Kebersamaan itu Indah, Kebersamaan itu Rukun, Kebersamaan itu Damai dan Kebersamaan itu ada selamanya. Visi : Membangun masyarakat yang peduli, tanggap, terampil dan berkualitas serta bertaqwa kepada Tuhan Y M E.
Sabtu, 28 Agustus 2010
The Battle Of Khandaq (Bagian 4)
The Battle Of Khandaq (Bagian 3)
Kisah Perjuangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dan Para Shahabatnya Dalam Mempertahankan Kota Madinah
Oleh. Rahman Hakim
Mahasiswa Fakultas Dakwah Dan Ushuludin, UIM
Berkaitan dengan hal di atas, Sa’d bin Muadz terkena tembakan panah lawan, sehingga urat lengannya putus. Pemanahnya adalah seorang laki-laki dari Quraisy yang dikenal dengan nama Hiban bin Al-Irqah. Maka Sa’d pun berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa tidak ada yang paling aku cintai melainkan memerangi kaum yang telah mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya dari kampung halamannya. Ya Allah, aku berharap Engkau berkenan menghentikan perang antara kami dan mereka. Jika perang ini masih terus akan berlangsung, panjangkanlah umurku sehingga aku berkesempatan berperang melawan mereka. Namun, jika engkau telah berkenan menghentikan perang ini, maka wafatkanlah aku di dalam perang ini.” Lalu ia berkata di akhir doanya, “Janganlah Engkau matikan aku sebelum aku merasa senang bisa memerangi Bani Quraizhah” (Al-Mubarakfuri, 2005).
Aksi Sabotase Yahudi Berikutnya
Ditengah berkecamuknya pertempuran antara pasukan kaum Muslimin dan Musyrikin, ular-ular Yahudi kembali melancarkan serangan berbisanya ke tubuh kaum Muslimin. Mereka hendak mengacaukan barisan pertahanan kota Madinah dengan cara menghasut Bani Quraizhah agar mau membelot dari pakta pertahanan yang telah mereka sepakati sebelumnya dengan Rasulullah, dan bersedia ikut bersama-sama pasukan gabungan kaum Musyrikin memerangi beliau.
Maka berangkatlah salah satu dedengkot provokator Bani Nadhir, Huyay bin Akhtab, ke perkampungan yang dihuni oleh Bani Quraizhah, untuk meyakinkan mereka agar mau masuk ke dalam barisan koalisi. Si Huyay mendatangi rumah Ka’ab bin Asad al-Quradhi, seorang pemuka Bani Nadhir, yang mempunyai wewenang dalam mengadakan kesepakatan dan perjanjian bagi mereka. Sebelumnya, antara pihak Bani Nadhir dengan Rasulullah telah terjadi perjanjian, untuk saling membantu apabila ada musuh yang menyerang salah satu pihak dari keduanya. Si Huyay pun mengetuk pintu rumah Ka’ab. Di luar dugaan, ternyata si Ka’ab justru menutupnya kembali. Karena terus menerus didesak, akhirnya Ka’ab pun membuka pintu untuknya. Lantas si Huyaypun berkata, “Wahai Ka’ab, aku mendatangimu dengan membawa kejayaan dunia dan lautan luas, aku memberimu kabar tentang kedatangan suku Quraisy bersama para pemimpinnya, sekarang mereka semua bermarkas di berkas aliran air di bukit Rumat. Begitu juga suku Ghatafan bersama para pemimpinnya, berkumpul di ujung Naqma dan sisi gunung Uhud. Mereka semua telah berjanji dan bersepakat denganku, untuk tidak meninggalkan tempat mereka, sampai mereka bisa menghancurkan Muhammad beserta para pengikutnya.”
Namun Ka’ab meragukan tawaran itu seraya menukas, “Demi Allah, engkau datang kepadaku membawa kehinaan seumur hidup dan awan kering. Engkau datang dengan kilatan yang menggelegar, namun tidak berisi apa-apa. Celakalah engkau wahai Huyay! Biarkan aku tetap seperti kondisi sekarang, karena sesungguhnya aku melihat kejujuran dan kesetiaan pada diri Muhammad.”
Namun Huyay terus saja membujuknya, hingga akhirnya Ka’ab luluh dan menerima ajakan si Huyay untuk membelot dari kesepakatan yang dibuatnya dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dan ikut serta memerangi Rasulullah, dengan syarat Huyay mau berjanji setia kepadanya dengan nama Allah. “Seandainya suku Quraisy dan Ghathafan pulang tanpa berhasil mencapai tujuan mereka menghabisi Muhammad, maka bawalah aku masuk kedalam benteng pertahananmu, sehingga apa yang menimpamu menimpaku juga,” begitu ucap Ka'ab. Dengan demikian Ka’ab bin Asad, sesepuh Bani Quraizhah, melanggar janjinya, dan terlepaslah semua kesepakatannya dengan kaum Muslimin. Selanjutnya ia menjadi sekutu orang-orang Musyrik dalam memerangi kaum Muslimin (Al-Mubarakfuri, 2005).
Intelijen dan peperangan
Dalam setiap peperangan, baik di zaman dahulu hingga zaman yang serba canggih seperti sekarang ini, operasi intelijen selalu dilibatkan dalam mendukung kesuksesan sebuah pertempuran. Salah satu tujuan operasi intelijen adalah membaca kekuatan dan pergerakan pasukan lawan. Sehingga apabila kekuatan lawan sudah terbaca, tinggal mangambil tindakan antisipasi yang tepat untuk menghadapinya. Diantara cara yang dipakai untuk mendapatkan informasi berharga ini, dilakukan dengan cara menyusupkan mata-mata atau agen rahasia langsung ke dalam pihak musuh. Umumnya agen yang disusupkan ini sudah sangat terlatih sedemikan rupa hingga tidak ada seorangpun dari pihak lawan yang mengetahui identitasnya yang sebenarnya. Ketika pertempuran berkecamuk di antara dua pihak yang saling berperang, informasi intelijen sangat ditunggu oleh setiap komandan pasukan perang masing-masing, sebelum akhirnya membuat keputusan, apa tindakan yang akan dilakukan selanjutnya. Rupanya prinsip intelijen ini, sudah di terapkan jauh-jauh sebelum badan intelijen modern yang kita kenal sekarang ini dibentuk.
Ketika Shafiyah binti Abdul Muthalib berada di atas benteng Hassan bin Tsabit, sementara itu Hassan sedang berada di dalam bersama kaum wanita dan anak-anak, tiba-tiba terlihat seorang Yahudi sedang mengitari benteng mereka. Rupanya Bani Quraizhah telah memutuskan perjanjian yang telah disepakati antara mereka dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan hendak memerangi kaum Muslimin. Sementara itu, tidak ada yang menjaga para wanita dan anak-anak itu, karena Rasulullah dan kaum Muslimin sedang sibuk menghalau musuh di sisi lain dari Madinah. Sehingga apabila ada musuh yang menyerang dari arah tempat Shafiyyah berlindung, pasukan Muslimin tidak dapat menolong mereka. Melihat gelagat tidak beres itu, Shafiyyah lantas melaporkannya kepada Hassan bin Tsabit, “Wahai Hassan, orang Yahudi itu sedang mengawasi benteng kita seperti yang engkau lihat. Demi Allah, aku khawatir jika dia memberitahukan kelemahan kita kepada orang-orang Yahudi di belakang kita. Sementara Rasulullah dan kaum Muslimin tidak bisa menolong kita jika ada yang menyerang, oleh karan itu turunlah wahai Hassan dan bunuhlah ia”. Namun Hassan justru menjawab, “Demi Allah, engkau tahu bahwa aku tidak bisa melakukannya.” Akhirnya, karena Hassan tidak sanggup untuk membunuhnya, maka bibi Rasulullah itu mengambil tindakan yang cukup heroik dan berani turun tangan mengatasi masalah ini. Ia lantas mengencangkan ikat pinggang, kemudian mengambil potongan tiang, lalu turun dari benteng dan menuju posisi mata-mata Yahudi itu berada. Si Yahudi yang tidak menyadari apa yang akan dilakukan oleh seorang wanita yang mendekatinya itu, akhirnya tewas, setelah Shafiyyah datang dan ‘menghadiahi’ intel Yahudi itu beberapa pukulan yang menyebabkannya meregang nyawa (Ibnu Hisyam, 2007).
Aksi luar biasa yang dilakukan oleh bibi Rasulullah itu benar-benar memberikan pengaruh yang sangat besar bagi keselamatan kaum wanita dan anak-anak, serta pertahanan kota Madinah. Mengetahui mata-mata mereka tidak kembali, alias tewas, para Yahudi itu menyangka bahwa benteng-benteng kaum Muslimin itu selalu dalam penjagaan. Padahal, realitanya tidak terjaga sama sekali. Pada akhirnya, mereka tidak berani mengirimkan mata-mata untuk yang ke dua kalinya, karena khawatir akan bernasib sama dengan yang pertama itu. Bahkan untuk mengerahkan pasukan dari sisi itupun mereka tidak berani, karena menyangka pos itu selalu dijaga ketat oleh pasukan Muslimin. Di sisi lain, Shafiyyah, bibi Rasulullah itu juga telah memainkan pola intelijen modern yang dimainkan oleh dunia intelijen saat ini. Ketika diketahui ada mata-mata yang masuk dan berusaha melakukan Spionase, maka tindakan yang harus segera diambil adalah menyingkirkannya dengan cara apapun, termasuk membunuhnya.
Panglima Perang Yang Tangguh
Akhirnya berita tentang pengkhianatan itupun sampai ke telinga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Namun, beliau tidak terburu-buru untuk mengambil tindakan. Beliau menunggu sampai betul-betul tahu persis informasi yang sebenarnya, agar tidak mengambil keputusan yang salah. Untuk itu, Rasulullah mengutus mata-matanya yang bertugas mengecek kevalidan informasi ini seraya berpesan, “Berangkatlah sehingga kalian bisa mengetahui apakah benar berita yang sampai kepada kita tentang (pengkhiantan) kaum Yahudi itu atau tidak. Jika benar, berilah aku isyarat saja. Sehingga aku bisa mengetahui dan jangan disebarkan ke semua orang. Karena hal itu akan mematahkan semangat mereka. Namun, jika mereka tetap menepati kesepakatan bersama, maka sebarkanlah berita itu kepada semua orang.” Ketika Sahabat yang mendapat tugas spionase ini mendekati perkampungan Bani Quraizhah, mereka mendapati orang-orang Yahudi itu dalam keadaan sangat buruk sekali. Di mana mereka dengan terang-terangan mencaci Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan menunjukkan sikap permusuhan. “Siapa itu Rasulullah? Tidak ada perjanjian antara kami dan Muhammad,” begitu kira-kira perkataan yang keluar dari mulut mereka saat itu, yang berhasil didengar oleh mata-mata Rasulullah. Segera, para shahabat itu kembali dan melaporkan hal ini kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Meskipun Nabi dan sebagian kaum Muslimin berusaha menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya itu, tetapi akhirnya diketahui juga oleh semua orang. Karena hal itu terlihat sangat jelas, maka tampaklah di hadapan mereka sebuah bencana yang sangat menakutkan (Al-Mubarakfuri, 2005).
Kisah ini, merupakan kondisi tersulit yang pernah dialami kaum Muslimin saat itu. Karena tidak ada lagi penghalang antara mereka dan Bani Quraizhah; apabila Bani Quraizhah itu ingin menyerang dari belakang. Sementara di hadapan mereka ada pasukan raksasa yang belum berhasil mereka usir dari sekitar parit. Daripada itu, tempat persembunyian anak-anak dan istri kaum Muslimin sangat dekat sekali dengan perkampungan Bani Quraizhah, yang telah berkhianat itu, tanpa adanya penjagaan dan perlindungan yang memadai. “Betul-betul kondisi yang teramat sulit,” begitulah komentar salah seorang sejarawan Islam asal Mesir, Muhammad bin Afifi al-Bajuri atau yang lebih dikenal dengan Syekh Khudhori bek, dalam bukunya “Nurul Yaqin fi Siroti Sayyidil Mursalin” (Dar Ibnu Hazm, 2000).
Kondisi mereka kala itu persis seperti yang digambarkan Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 10-11, yang artinya: “Yaitu ketika mereka datang kepada kalian dari atas atau dari bawah kalian, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (kalian) dan hati kalian naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kalian menyangka terhadap Allah dengan berbagai prasangka, di situlah diuji orang-orang Mukmin dan diguncangkan hatinya dengan goncangan yang sangat.”
Pada saat itu juga, tampaklah sifat-sifat kemunafikan dari sebagian orang munafik. “Muhammad telah menjanjikan kepada kita, bahwa kita akan memperoleh kekayaan dari istana Kisra (raja Persia) dan Qaishar (kaisar Romawi). Sementara hari ini, tidak ada seorang pun yang merasa aman meskipun sekadar untuk pergi membuang hajatnya,” demikian ujar mereka dengan penuh waswas. Disamping itu juga ada seorang yang berkata di depan kaumnya, “Rumah kami akan menjadi sasaran musuh, maka izinkanlah kami untuk pulang ke kampung halaman kami, karena kampung halaman kami berada di luar Madinah”. Sampai-sampai Bani Salamah sudah merasa gagal terlebih dahulu. Saat itulah Allah menurunkan ayat kepada mereka;
“Dan ingatlah ketika orang-orang munafik dan orang-orang berpenyakit dalam hatinya berkata, ‘Allah dan RasulNya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya,’ dan ingatlah ketika segolongan di antara mereka berkata, ‘Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagi kalian, maka kembalilah kalian,’ Dan sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi (untuk pulang) dengan berkata, ‘sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).’ Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari” (QS. Al-Ahzab: 12-13).
Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika mendengar berita pengkhianatan Bani Quraizhah itu, menyempatkan diri untuk berbaring dan berdiam cukup lama. Sehingga kondisi yang dialami kaum Muslimin itu semakin menjadi-jadi. Lalu beliau bangkit seraya memotivasi, “Allahu Akbar, wahai kaum Muslimin, optimislah kalian dengan kemenangan dan pertolongan Allah.” Kemudian beliau merancang strategi yang bisa mengeluarkan mereka dari kondisi yang sangat pelik ini. Yakni dengan mengutus beberapa penjaga ke dalam kota Madinah, sehingga anak-anak dan para wanita tidak tertimpa suatu serangan secara tiba-tiba. Namun, untuk itu dibutuhkan keberanian yang teguh untuk sanggup memecah-belah pasukan lawan. Dan untuk mewujudkan target itu, beliau harus berdamai dengan dua orang pemimpin Bani Ghathafan, yaitu Uyainah bin Hisn dan Harits bin Auf. Dengan memberi keduanya sepertiga buah-buahan dari kota Madinah, agar mereka berdua mau pulang membawa pasukannya meninggalkan arena pertempuran. Sehingga kaum Muslimin bisa berkonsentrasi untuk memberikan kekalahan telak kepada kaum Quraisy yang tak henti-hentinya selalu menguji kekuatan dan ketangguhan kaum Muslimin.
Selengkapnya...